Apa yang dilakukan salah satu band terbesar di dunia agar tidak le-ngah oleh kesuksesan luar biasa yang telah mereka raih sejauh ini? Bagi Coldplay yang telah menjual 30 juta kopi album di seluruh dunia, langkah yang diambil adalah merombak total apa yang telah membawa mereka ke posisi yang diidam-idamkan itu.
"Kalau kami membuat album seperti yang sudah-sudah, kami akan sangat bosan, dan penggemar kami akan sangat bosan. Jadi, kami perlu mencoba sesuatu yang berbeda," kata Guy Berryman. Dengan berpakaian kaus hitam, faded jeans dan sepatu Converse All-Stars, bassis itu tampak santai dan bersemangat saat ditemui di Marriott Hotel, London pada akhir Mei untuk membicarakan album baru kuartet asal Inggris itu, Viva la Vida or Death and All His Friends. "Kami membuat tiga album pertama dengan cara serupa, dalam arti bekerja de-ngan orang-orang yang sama, dan bekerja di studio rekaman komersial."
Maka untuk album Coldplay yang keempat, selain merekamnya di studio milik sendiri di London yang bernama The Bakery, Berryman, gitaris Jonny Buckland, drummer Will Champion dan vokalis Chris Martin juga mengajak Brian Eno, produser legendaris yang menangani U2 di saat band itu menghadapi dilema serupa dengan Coldplay. "Itu menyenangkan. Dia pria yang sangat luar biasa. Tak ada ego atau kecanggungan di studio. Dia benar-benar membantu kami membuka mata terhadap pendekatan yang berbeda untuk membuat lagu," kata Berryman.
Kehadiran Eno sebagai produser - beserta Markus Dravs (Bjork, Arcade Fire) - membuat Coldplay semakin terbuka terhadap ide-ide baru dalam proses rekaman, yang dimulai sejak tahun 2006. Menurut Berryman, "Jika ada yang punya ide, baik besar maupun kecil, ide itu untuk diutarakan dan dicoba."
Salah satu ide yang dicoba adalah menggunakan hipnosis untuk merangsang kreativitas. "Itu muncul karena saya ber-usaha berhenti merokok, dan pada suatu hari saya berkata ke Brian, ‘Saya mungkin akan ke ahli hipnosis.' Dia berkata, ‘Saya tahu seseorang.' Ide saya pergi ke orang itu berkembang ke orang itu masuk ke studio. Kami mencoba banyak hal yang berbeda-beda. Beberapa sukses, beberapa tidak," kata Berryman. Apakah ide hipnosis termasuk yang sukses? "Tidak juga [tertawa]. Itu hanya sebuah ide yang sangat mewakili cara pembuatan album ini, karena if you don't try, then you don't know," katanya.
Alhasil, Viva la Vida cukup berbeda de-ngan album-album sebelumnya. Pada "42," mereka membagi lagu tersebut menjadi tiga bagian yang nuansa berbeda-beda ala progressive rock; "Strawberry Swing" menyisipkan pengaruh musik Afrika pada melodi gitar Buckland; dan pada "Yes," Martin mengganti suara falsetto yang menjadi ciri khasnya selama ini dengan -karakter -vokal yang lebih berat. "Ini -album yang kami benar-benar ingin buat, ketimbang merasa harus -membuat album yang terdengar se-perti stadium rock megah -se-perti halnya di album terakhir, X & Y. Sebelumnya kami merasa -seperti dipaksa ke jalur tertentu, dan kali ini yang penting adalah melakukan apa yang kami mau, tanpa mengkhawatirkan -apakah itu akan terdengar anthemic dan megah atau terjual jutaan," kata Berryman.
Dari segi lirik pun terdapat perbedaan, di mana Martin tak melulu bernyanyi tentang cinta. Ada tema revolusi yang kental di Viva la Vida, yang terilham oleh pengalaman Coldplay dalam berkeliling dunia. "Kami menghabiskan banyak waktu di jalan, melihat banyak negara dan melihat bagaimana pemerintahan yang berbeda-beda mengendalikan masyarakat yang berbeda-beda. Itu agak gila bagi kami," kata Berryman. "Kita semua manusia, semua lahir, hidup bernafas, makan dan akhirnya mati. Kita penuh emosi, punya anak dan keluarga. Tapi kita semua diperin-tah penguasa yang lebih tinggi. Itu gila, karena penguasa yang lebih tinggi itu hanya manusia juga. Mereka tak lebih berkuasa dibanding manusia lain."
Berryman melanjutkan, "Kami berada dalam posisi yang sangat beruntung, karena kami bisa melihat banyak negara dan budaya yang berbeda-beda, dan semuanya luar biasa. Kami sangat beruntung karena punya sudut pandang yang sa-ngat global ini."
Sudut pandang itu turut mempengaruhi Coldplay dalam aktivitas-aktivitas amal. "Di tur album terakhir, kami berusaha mempromosikan Oxfam dan Make Trade Fair. Saya merasa sangat bangga karena kami terlibat dalam itu. Kalau masuk ke toko swalayan di London sekarang, ada bagian-bagian khusus Make Trade Fair. Itu adalah hal yang begitu luar biasa," kata Berryman. "Banyak orang mencemooh rock star dan selebriti yang melakukan ke-giatan amal, karena mereka skeptis bahwa itu hanya untuk mempromosikan diri sendiri. Tapi itu tak benar, semua orang dapat melakukan perannya dan kita dapat melihat perbedaannya. Saya sangat bangga karena kami memiliki forum untuk berbicara ke orang-orang dari segi musik, tapi juga memanfaatkan itu untuk melakukan hal-hal lain."
Selain itu, Coldplay juga melakukan revolusi dalam hal promosi dengan melepas "Violet Hill" sebagai download gratis selama seminggu di akhir Mei. "Kami berpikir itu ide yang keren" kata Berryman. "Itu tak begitu menyakiti diri kami maupun perusahaan rekaman. Saya tak keberatan kalau orang-orang meng-unduh musik secara ilegal. Kalau saya seorang mahasiswa dengan 20 pound dan harus memilih antara membeli CD atau pergi ke bar bersama teman-teman, dan bisa mendapatkan CD ini secara gratis, saya akan mengunduhnya secara gratis. Saya memahami itu. Sisi buruknya adalah itu menghentikan perusahaan rekaman dalam mencari band-band baru. Kini, kalau band-band baru tidak langsung mencetak hit di album pertama, mereka menghilang."
0 komentar: