Coldplay Viva la Vida or Death and All His Friends
Album coldplay yang keempat telah disebut sebagai album mereka yang eksperimental sekaligus politis. Dua-duanya relatif benar. Viva la Vida or Death and All His Friends dibuka de-ngan sebuah riff yang tidak dimainkan pada gitar, melainkan santur - alat musik tradisional Irak dan Iran. Single pertama "Violet Hill" menggambarkan sebuah adegan di mana "priests clutched onto Bibles/Hollowed out to fit their rifles." Setengah dari lagu-lagu di album ini sarat akan simbol perang, sementara lagu-lagu lain menyinggung topik Tuhan, agama atau kematian.
Menyenangkan, bukan? Anehnya, memang menyenangkan. Viva la Vida merupakan usaha Coldplay untuk meningkatkan standar kreativitas setelah mengalami kesuksesan komersial yang hebat dan cemoohan kritikus yang cukup substansial. Namun sesuai dengan brand mereka, album ini tak jauh berbeda: Isinya masih melodi dan refrain yang dapat dinyanyikan bersama-sama di stadion. Walau eksperimen-eksperimen di dalamnya menjadikan ini se-bagai album mereka yang paling menarik secara musikal sejauh ini, pesan-pesan politiknya terlalu abstrak untuk disimak di balik musiknya.
Coldplay telah tur mengelilingi dunia, dan vokalis Chris Martin telah berkampanye untuk Oxfam International di Afrika. Wajarlah bila album ini - mulai dari judul hingga lagu-lagunya - mencerminkan keanekaragaman massa penggemar global band itu, yang mengantarkan X & Y (2005) ke puncak tangga album di negara-negara seperti Libanon, Chile, Malaysia dan Thailand, serta di A.S. dan Inggris. "Cemeteries of London," yang mengingatkan pada country ballad Inggris, berawal di halaman belakang Coldplay, dengan menggambarkan sebuah sungai "where Victorian ghosts play." Melodi "Strawberry Swing" mengingatkan pada musik Jepang. Pada "Yes," Martin menurunkan vokalnya ke oktaf rendah yang tak lazim diiringi suara biola bernuansa Arab dalam sebuah lagu yang membicarakan masalah universal dalam lagu pop: hasrat.
Produser Brian Eno turut membantu dalam menghadirkan suasana world music. (Walau nama Eno berada di urutan teratas, Coldplay juga berkolaborasi dengan produser-produser lain, -termasuk Markus Dravs yang -berpengalaman dalam menggabungkan yang aneh de-ngan yang anthemic berkat kerja samanya de-ngan Bjork dan Arcade Fire.) Tentu saja, keterlibatan Eno pada The Unforgettable Fire dan The Joshua Tree-nya U2 - sebuah band yang dihormati Coldplay, yang juga bercita-cita menjadi seperti mereka - mungkin lebih relevan di sini.
Ada banyak tanda pengaruh U2 di Viva la Vida, terutama tone gitar Jonny Buckland yang semakin agresif. Momen pop terbaik di album ini mungkin adalah "Lost!", sebuah lagu tentang bertahan melawan cobaan yang mengingatkan pada "I Still Haven't Found What I'm Looking For." Fondasinya adalah riff organ gereja yang sederhana, kick drum dan tepukan tangan, lalu berkembang ke solo gitar yang megah ala The Edge. Lalu, kord yang menyengat di "Chinese Sleep Chant" membuat teriakan Martin tenggelam sehingga tak terdengar sama sekali.
Itu memang tak sulit untuk dilakukan. Salah satu kekuatan khas Martin adalah personanya yang anti-rock star - itulah yang membuat begitu banyak penggemar dapat membayangkan berada dalam posisinya saat bernyanyi tentang rasa sakit, keinginan atau harapan. Itu pula yang menjadikannya hook singer yang bagus, sebagaimana terbukti saat berduet dengan artis-artis seperti Jay-Z ("Beach Chair") dan Kanye West ("Homecoming"). Martin tak akan melawan ego-ego sebesar itu. Dia punya kemampuan untuk mengalah, bahkan di lagu-lagunya sendiri.
Tapi ada sesuatu yang meresahkan dalam pesan-pesan politisnya yang -abstrak. Di "Violet Hill," dia menyatakan, "I don't want to be a soldier/Who the captain of some sinking ship/Would stow, far below" - lalu menambahkan, "Bury me in armor." Pada "Lovers In Japan," dia bernyanyi, "Soldiers you've got to soldier on/Sometimes even the right is wrong." Apakah ini adalah lagu-lagu perdamaian atau dukungan kepada pejuang yang berani? Bisakah menjadi dua-duanya? Selain itu, "Viva la Vida" tampaknya bercerita tentang berakhirnya sebuah kekaisaran. Tapi refrain-nya yang megah - "I hear Jerusalem bells a-ringing/Roman cavalry choirs are singing" - terdengar seperti lagu semangat untuk kekaisaran Kristiani. Di manakah biola-biola Arab saat dibutuhkan?
Keinginan Coldplay untuk menyatukan para penggemarnya di seluruh dunia dengan hiburan yang dapat dipahami semuanya adalah kekuatan band itu, serta tujuan yang mulia. Tapi di Viva la Vida, sebuah album yang ingin membuat pernyataan-pernyataan yang kuat, itu juga merupakan kelemahan. Kadang-kadang, untuk mengatakan apa yang perlu dikatakan, kita harus mengambil risiko membuat orang kesal.
0 komentar: